Perlawanan dan pemberontakan pribumi pada awal abad ke-20 kian gencar terjadi baik dalam bentuk dan skala yang berbeda-berbeda disetiap daerah. Di Jawa khususnya pada periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak berkembang pergerakan dan pemberontakan yang bersifat mesianistis. Periode ini, merupakan masa dimana masyarakat Jawa merasakan penderitaan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial. Kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial, semakin membuat rakyat pribumi sangat menderita dan tidak memperoleh kesejahteraan.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial seperti melakukan eksploitasi sumber daya alam (tanah) dan sumber daya manusia (kerja paksa) yang terus dilaksanakan demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya yang pada akhirnya mengakibatkan banyak penderitaan bagi rakyat. Lebih-lebih bagi petani, akibat diterapkanya sistem tanam paksa pada tahun 1830-1870 (di beberapa daerah dalam praktiknya sampai dengan 1918) membawa kesengsaraan bagi rakyat pribumi. Kebijakan tanam paksa (culture-stelsel) ini membuat petani di Jawa harus kehilangan banyak waktu kerja untuk menggarap tanah sendiri, karena harus menjalani kewajiban menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman eksport dan kewajiban bekerja pada kebun milik pemerintahan bagi yang tidak memiliki tanah.
Akibatnya munculah berbagai pemberontakan-pemberontan yang dilakukan oleh para petani diberbagai daerah. Misalnya saja pada tahun 1888 terjadi pemberontakan petani di Banten. Pemicu terjadinya pemberontakan ini menurut Sartono Kartodirjo diakibatkan karena pada tahun 1882 pemerintahan Hindia Belanda melaksanakan peraturan penetapan pajak atas tanah pertanian. Akibatnya, konflik antara rakyat dengan tatanan sosial politik yang dibangun oleh penguasa kolonial tak terelakan lagi (A. Pieter dalam Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:38-39).
Kondisi sosial-ekonomi politik dan budaya yang memburuk inilah yang akhirnya mendorong Samin Surosentiko untuk membuat sebuah perkumpulan di tahun 1890. Sejak kemunculannya pada awal abad ke-20 disurat kabar dan majalah berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda, Samin Surosentiko (1859-1914) dan ajaran-ajaranya mendapatkan banyak perhatian, baik dari pemerintahan Hindia Belanda maupun orang-orang Jawa diberbagai wilayah.
Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859 di desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Nama asli Samin adalah Raden Kohar, yang kemudian dirubah menjadi Samin supaya bernuansa kerakyatan. Kemudian setelah menjadi guru kebatinan namanya berubah menjadi Samin Surosentiko, dan khusus untuk para pengikutnya memanggilnya Kyai Samin Surosentiko (Suripan, 1996:13-14). Samin sendiri ialah seorang petani, ia dapat digolongkan sebagai petani yang berkecukupan, dalam arti relatif karena dapat memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri. Ia memiliki sawah seluas 3 bau (kira-kira 2 ha) tanah ladang kira-kira ¾ ha, dan beberapa ekor sapi (Marwati Djoened, 1993:442).
Dalam laporan Cipto Mangunkusumo yang merupakan orang Indonesia pertama yang melakukan penelitian tentang Samin, pada tahun 1918 menyebutkan bahwa ayah dan kakek Samin adalah petani biasa, tapi ayah kakeknya yaitu buyutnya Samin adalah Kiai Keti dari Rajegwesi (sekarang Bojonegoro), sedangkan kakek buyutnya adalah Pangeran Kusumaningayu (Raden Mas Adipati Brotodiningrat yang memerintah Kabupaten Sumoroto, sekarang daerah kecil di Kabupaten Tulungagung, pada tahun 1902-1826) (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:125).
Samin Surosentiko hidup pada masa penjajahan, dimana kurang lebih pada tahun 1860 semua wilayah di Jawa dipangkas hubungan administratifnya dengan keraton dan diambil alih oleh pemerintahan Hindia-Belanda, sementara keraton secara tidak langsung diperintah oleh Belanda lewat pemerintahan Boneka yang mereka buat. Kedudukan Bupati masih dipertahankan, akan tetapi Belanda-lah yang mengorganisasi pemerintahan Bupati. Kedudukanya menjadi lebih Birokratis dengan dibantu oleh patih, wedana, dan Camat.
Pada saat dewasa, Samin Surosentiko banyak melihat keadaan-keadaan sosial masyarakat petani yang menunjukan keadaan yang memprihatinkan. Hal ini yang akhirnya membuat Samin tergerak hatinya untuk menghapuskan penderitaan rakyat khususnya para petani. Sehingga hal inilah yangmembuat Samin untuk menarik pengikut yaitu para petani didesanya dan desa-desa disekitarnya untuk menolak segala bentuk kekuasaan dari luar khususnya pemerintahan kolonial.
Dari awal munculnya gerakan Samin, menunjukan bahwa gerakan ini tidak bermaksut untuk melakukan pemberontakan secara fisik, akan tetapi mereka bermaksut untuk mengembalikan tatanan kehidupan dengan cara membangkan atau tidak menuruti aturan-aturan dari pemerintahan kolonial yang dianggap merugikan dan menyengsarakan rakyat.
Pemberontakan tanpa kekerasan yang dilakukan oleh para gerakan ini, tidakalah lepas dari ajaran kehidupan yang telah diajarkan oleh Samin Surosentiko. Menurut pendapatnya Bryan Wilson (dalam bukunya Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:48-49), dari awal ajaran kebatinan Samin bukan saja bersifat konversional, tapi juga sekaligus revolusioner, dengan semangat miliniaritis dan mesianistinya. Seperti diketahui bahwa gerakan mesianistis biasanya bergantung pada kehadiran Ratu Adil yang dianggap akan melakukan perubahan masyarakat secara radikal menuju kehidupan yang lebih baik.
Prinsip pokok ajaran Samin sebenarnya sangat sederhana, yang diwakili dengan ungkapan Wong Sikep weruh teke dewe, orang sikep tahu miliknya sendiri. Misalnya yaitu mereka tidak mengambil yang bukan haknya dan tidak melakukan hal yang bukan menjadi kewajibanya. Salah satu contohnya soal membayar pajak. Mereka beranggapan bahwa tanah pertanian adalah milik mereka sendiri, dalam hal ini pemerintahan tidak boleh ikut campur. Namun apabila kepala desa menarik iuran mereka akan memenuhinya(Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:55).
Ajaran Samin ini mulai dikembangkan pada tahun 1890 oleh Samin Surontika di Plosowetan, desa Klopodhuwor, Blora. Pada waktu itu usia Samin diperkirakan 31 tahun. Orang-orang desa sekitarnya antara lain dari desa Tapelan, banyak yang datang berguru kepadanya. Hal ini dikarenakan sebelumnya pada tahun 1870, mulai ditetapkan peraturan Staarsblaad No. 55 mengenai domainverklaring. Berdasarkan peraturan ini pemerintah kolonial berhak mengklaim tanah milik rakyat yamg tidak bisa menunjukan bukti tertulis kepemilikan (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:20).
Pada waktu itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik pada ajaran Samin, sebab ajaran itu masih dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang tidak mengganggu keamanan (Suripan, 1996:14). Akan tetapi setelah pemerintah kolonial mulai menetapkan peraturan-peraturan baru yang semakin merugikan rakyat, seperti status houtvesterijen pada tahun 1897 yang membatasi akses rakyat kedalam hutan, serta dilarang mengambil kayu dari dalam hutan (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:20-21). Kemudian juga Etische Politiek pada tahun 1901, yang teryata program-programnya tidak lain hanyalah untuk kepentingan bangsa kolonial. Membuat rakyat sekitar tempat tinggal Samin semakin tertarik untuk mengikuti ajaran Samin. Menurut laporan Residen Rembang L. Ch. H. Fraenkel pada tahun 1903, melaporkan bahwa ada 772 orang Samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:21).
Pemberontakan yang dilakukan gerakan Samin mulai terlihat pada tahun 1904. Penduduk desa Benikudon di Grobogan dilaporkan telah mengadopsi ajaran Samin. Mereka dilaporkan melakukan penolakan membayar pajak dan aturan lain. Akan tetapi hal ini masih belum ada tanggapan dari pemerintah kolonial. Menurut laporan Japer, gambaran umum tentang gerakan Samin pada masa itu adalah tidak berbeda dari ajaran Islam dan belum menentang pemerintah secara langsung (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:21).
Pada tahun 1905 mulai ada perkembangan baru. Orang-orang desa yang menganut ajaran Samin Surosentiko mulai mengubah tatacara hidup mereka dari pergaulan sehari-hari di desanya. Mereka tak mau lagi menyetor padi kelumbung desa dan tak mau membayar pajak, serta menolak untuk mengandangkan sapi dan kerbau mereka dikandang umum bersama-sama dengan orang desa lainnya yang bukan orang Samin. Sikap yang demikian itu sangat membingungkan dan menjengkelkan pamong desa. Itulah sebabnya banyak orang yang tidak senang pada mereka. Mereka dijuluki “wong Samin”, “wong sikep” dan “wong Dam” (orang yang menggilut agama Adam) (Suripan, 1996:14).
Sampai pada tahun 1907 jumlah pengikut Samin berjumlah 5.000. hal inilah yang akhirnya membuat pemerintah kolonial Belanda sangatlah terkejut dan merasa takut, apalagi tatkala mendengar bahwa pada tanggal 1 Maret 1907 mereka akan memberontak. Karena pada waktu itu di desa Kedhung Tuban, Blora, ada orang Samin yang menyelenggarakan selametan (syukuran). Orang Samin yang datang menghadiriselametan di desa Kedhung Tuban tersebut lalu ditangkap, sebab mereka dianggap mempersiapkan pemberontakan (Suripan, 1996:14-15).
Pada tanggal 8 November 1907 Samin Surontika diangkat oleh para pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian setelah 40 hari peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo, Ndoro Seten (Asisten Wedana) di Randublatung, Blora, dan ditahan di bekas tobong bekas pembakaran batu gamping. Sesudah itu dia dibawa ke Rembang. Di Rembang dia diinterogasi, kemudian dia bersama delapan pengikutnya dibuang di Sawahlunto, Padang. Diapun akhirnya meninggal disana pada tahun 1914 (Suripan, 1996:23).
Teryata penangkapan Samin Surosentiko ini tindaklah memadamkan semangat para pengikutnya. Pada 1908, Wongsorejo yang merupakan pengikut Samin Surontika giat menyebarkan ajaran Samin di distrik Jiwan, Madiun. Di sini orang-orang desa dihasut untuk tidak membayar pajak dan keja paksa pada pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian dia bersama dua orang temanya akhirnya juga ditangkap dan dibuang (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:23).
Ajaran Samin juga mulai dikembangkan keberbagai daerah baru oleh para pengikutnya. Surohidin, yang merupakan menantu Samin Surontika, dan juga Engkrak, murid Samin Surontika. Pada tahun 1911 menyebarkan ajaran Samin di daerah Kabupaten Grobogan (Purwodadi). Karsiyah, pengikut Samin Surontika, mengembangkan ajaran Samin di Kajen, Pati (Suripan, 1996:15).
Pada tahun 1914 inilah kegiatan pengikut Samin mencapai puncaknya karena dipicunya adalah kenaikan pajak kepala. Penduduk Tapelan, Bojonegoro, mulai keberatan membayar sewa tanah desa yang sudah mereka sewa sejak 1912. Bahkan mereka mengklaim bahwa tanah itu milik penggarap dan mereka “tahu hak-hak mereka.” Mereka mengancam dengan cangkul dan arit ketika Asisten Wedana tiba untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Tapi akhirnya mereka dilucuti dan dipenjarakan oleh polisi tanpa ada yang terluka (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:24).
Di Grobogan, pengikut Samin mulai tidak menghormati pihak berwenang. Pada saat yang sama, Projodikromo memberitahu orang-orang di Distrik Balerejo, utara Madiun, bahwa pajak akan ditingkatkan lebih lanjut dan mengajak mereka untuk menipu petugas survai lahan. Tujuan utama mereka ialah tidak mau membayar pajak (Suripan, 1996:15).
Sedangkan di Kayen, Pati, Karsiyah yang merupakan pengikut ajaran Samin menyebut dirinya sebagai Pangeran Sendang Janur dan mendorong orang untuk menentang pemerintah. Akhirnya di desa Larangan, Kayen, para pengikutnya menolak untuk membayar pajak dan menyerang kepala desa, dan melawan polisi. Beberapa terluka tapi tidak ada yang tewas. Mereka kemudian dipenjarakan di Pati (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:24).
Pada tahun 1916 gerakan Samin melawan pemerintah kolonial mulai mencari daerah persebaran baru. Ajaran Samin mulai disebarkan di Undaan, selatan Kudus. Dalam laporan Jasper bahwa para pengikut Samin pada tahun ini adalah 2.305 kepala keluarga: 1.701 di Kabupaten Blora, 283 di Bojonegoro, dan sisanya di Pati, Rembang, Grobogan, Ngawi, dan Kudus (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:24-25).
Pada tahun 1917 para pengikut Pak Engkrak dan Karsiyah melakukan perlawanannya terhadap pemerintah Kolonial Belanda dengan apa yang dinamakan partikel pasif. Peningkatan perlawanan ini sangat menjengkelkan Belanda. Perlawanan ini akhirnya dapat dipadamkan oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan melakukan hukuman penangkapan dan pengasingan (Suripan,1996:16).
Perlawanan juga dilakukan oleh Dangir dan kepala desa Genengmulyo pada tahun 1928. Akan tetapi kemudian mereka juga ditangkap oleh pemerintah kolonial karena menolak bekerjasama dengan kontrolir dalam menaksir luas tanah dan nilai pajak yang dibebankan. Dalam wawancara oleh Patih Pati. Dangir mengaku sebagai pengikut ajaran Samin (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:25).
Setelah tahun 1928 ini sampai kemerdekaan, teryata gerakan Samin tidak terlihat lagi disurat-surat kabar maupun dokumen-dokumen milik Belanda. Hal ini menurut Suripan (1996) disebabkan karena ketiadaan pemimpin yang tangguh. Namun walaupun gerakan pemberontakan Samin ini tidak terlihat lagi, akan tetapi ajaran Samin masih diabadikan oleh para pengikutnya sampai sekarang.
Daftar Pustaka
Djoened P., Marwati dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Ismail, Nawari. 2015. Strategi Bertahan Kelompok Agama Lokal. Dalam Journal Harmoni, Volume 14 Nomor 3.
Moh. Rasyid. 2008. Samin Kudus: Bersahaja Di Tengah Asketisme Lokal. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin AG. 2009. Gerakan Samin dan Misteri Agama Adam. Dalam Journal Harmoni, Volume VIII Nomor 31.
Mumfangati, Titi, dkk. 2007. Kearifan Lokal Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah. Yogjakarta: Kepel Press.
Sadi H., Suripan. 1996. Tradisi Dari Blora. Semarang: Citra Almamater Semarang.
Sastroatmojo, R.P.A Suryanto. 2003. Masyarakat Samin: Siapakah Mereka?.Yogjakarta: Narasi.
Sholeh B., Anis dan Muhamamad Anis Ba’asyin. 2014. Mistisisme Petani di Tengah Pergolakan. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri.