Tuesday, December 2, 2014

Bukan 350 Tahun Dijajah, Meruntuhkan Mitos Penjajahan 350 Tahun

Bukan 350 Tahun Dijajah, Meruntuhkan Mitos Penjajahan 350 Tahun


·   Judul               : Bukan 350 Tahun Dijajah
·    Penulis            : G.J. Resink
·    Penerbit           : Komunitas Bambu
·    Tebal                : xxxiv + 366 halaman
·     Cetakan           : 2012






Historiografi Eropasentris dalam sejarah Indonesia ternyata telah melanggengkan mitos yang bertahan lama: “Belanda menjajah Indonesia 350 tahun”. Mitos yang sengaja diciptakan sebab pemerintah kolonial Belanda membutuhkan legitimasi historis politis untuk mempertahankan dan memperluas daerah jajahannya.  Mitos penjajahan ratusan tahun ini seperti hendak mengafirmasi arogansi Gubernur Jenderal BC de Jonge tahun 1936 yang berkata, “kami akan tinggal di sini 300 tahun lagi”.

Kita sama-sama tahu sesumbar itu tidak pernah terbukti. Namun celakanya, mitos yang dibuat oleh sejarawan kolonial tersebut direproduksi rezim penguasa pascakolonial yang tuna sejarah. Terutama di era Orde Baru, sejarah hanya dipahami sebagai perkara waktu dan peristiwa seperti tercantum dalam buku-buku pelajaran maupun teks pidato para pejabat. Tak perlu heran jika masyarakat memahami peristiwa sejarah sebagai teks yang beku dan tak ada relevansinya dengan kondisi kekinian.
Nah, Gertrudes Johan Resink menulis buku yang terdiri dari 14 tulisan ini sebagai ikhtiar untuk meruntuhkan mitos tersebut. Reesink adalah seorang ahli sejarah, hukum, dan sastra keturunan Belanda dan Jawa yang lahir di Yogyakarta tahun 1911. Sejak pengakuan kedaulatan Belanda terhadap Indonesia tahun 1949, Reesink memilih mempertahankan kewarganegaraan Indonesia dengan segenap konsekuensinya.

Buku Bukan 350 Tahun Dijajah menjadi sumbangan teoritis yang berharga terutama dalam bidang hukum internasional untuk memecahkan mitos dan mengembangkan historiografi indonesiasentris. Tema tulisan yang dipublikasikan di era 1950-an ini merentang dari hubungan antara “Negara Hindia Belanda” dengan “Negara-negara pribumi di Kepulauan Timur” sampai perspektif baru penulisan sejarah nasional.
Sebagai guru besar ilmu hukum, Reesink menunjukkan sederet bukti sejarah sesuai disiplin keilmuannya. Reesink mengumpulkan data dari aturan-aturan konstitusi dan arsip-arsip pengadilan di Hindia Belanda yang ia sebut sebagai “alat-alat buatan Belanda”.

Dari sebagian saja alat-alat tersebut, Reesink membuktikan bahwa pemerintah kolonial Belanda di antara tahun 1870 dan 1910 melihat adanya kerajaan di sekitar Hindia Belanda yang merdeka. Di antaranya adalah kerajaan Sumba, Sulawesi Selatan, Aceh, Langkat, Lingga, dan daerah-daerah Batak. Pengakuan atas kerajaan-kerajaan ini bersumber pada aturan yang dibuat pemerintah Belanda sendiri.
Pemerintah tertinggi di Belanda (Mahkota Kerajaan Bersama Parlemen) dalam pasal 44 Reegeeringsreg tahun 1854, memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan membuat perjanjian dengan negeri atau bangsa di Kepulauan Nusantara.  Setidaknya ada tiga jenis negeri yang dimaksud dalam peraturan tersebut.
Pertama, negeri-negeri yang sudah mengakui Belanda sebagai negeri souverein (yang berdaulat)walaupun hubungan ini bersifat internasional karena diatur traktat. Kedua, negeri-negeri yang mengadakan traktat dengan Belanda. Negeri-negeri yang disebut sebagai vasal ini setidaknya meliputi Sambas di Kalimantan, dan tujuh negeri di Sulawesi Utara. Ketiga, negeri-negeri yang mengakui Belanda sebagai leenheer tanpa mempersoalkan masalah kedaulatan. Termasuk dalam kategori ini adalah Riau di Sumatera, hampir semua negeri di Kalimantan, dan beberapa di Timor dan Sulawesi.

Dengan adanya pengakuan terhadap negeri-negeri tersebut, ungkapan penjajahan atas Indonesia selama 350 tahun patah dengan sendirinya. Seperti diungkapkan Reesink, pernyataan tersebut adalah generalisasi sejarah yang dibuat-buat. Generalisasi ini dibuat dengan cara pars pro toto. Penjajahan seluruh Jawa selama abad 19 yang dipertebal menjadi penjajahan seluruh Nusantara selama tiga abad lebih.
Reesink menilai, pengabaian terhadap fakta-fakta hukum tersebut membuat mitos penjajahan 350 tahun bertahan sangat lama. Apalagi, perspektif historiografi indonesiasentris belum menjadi arus utama. Peneliti sejarah malas mencari sumber-sumber baru dan lebih banyak mengandalkan sumber-sumber lawas. Bias eropasentris yang melanggengkan supremasi kolonial begitu terlihat dalam sumber-sumber tersebut.

Kemalasan tersebut berakibat fatal terhadap citra peta kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara yang dilukiskan dalam satu warna seragam. Padahal, masing-masing negeri di Kepulauan Nusantara memiliki relasi politik dan hukum yang berbeda-beda dengan Belanda. Relasi ini tergantung pada spheres-of-influence, kuat lemahnya pengaruh Belanda terhadap negeri tersebut. Berarti, lukisan citra peta kekuasaan Belanda semestinya menampilkan gradasi warna yang berbeda sesuai kadar pengaruh pusat pemerintahan kolonial di Batavia.  
Menurut Reesink, jika generalisasi dilakukan, Belanda sebenarnya hanya menjajah seluruh Nusantara selama 40 sampai 50 tahun. Inipun masih menghitung perbedaan waktu di masing-masing daerah. Wilayah di Jawa menjadi daerah yang paling lama dijajah. Gagasan ini memang radikal, tapi Reesink menunjukkan bukti-bukti yang cukup meyakinkan.

Seperti diungkapkan Taufik Abdullah, Reesink berhasil membongkar mitos politik penjajahan ratusan tahun. Mitos yang pada akhirnya tidak akan bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah. Persoalannya, gagasan Reesink sudah ditulis sejak tahun 1950an. Namun toh mitos ini tetap menjadi arus utama sampai sekarang. Jangan-jangan, kita memang sudah menjadi masyarakat yang tuna sejarah?

Pidato Soekarno pada 17 Agustus 1962 : Tahun Kemenangan ( A Year Of Triumph )

Tahun kemenangan Indonesia merupakan tahun dimana sistem pemerintahan Indonesia lebih stabil dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini merupakan tahun yang terbaik setelah terjadi banyak revolusi yang dimulai dari Revolusi Formil pada tanggal 17 agustus 1945. Kemudian Revolusi yang kedua pada yaitu saat pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949. Kemudian yang ketika tiga yaitu saat terjadi penyelewengan-penyelewangan pada tahun 1957 yang kemudian menimbulkan aksi untuk membendung dan menghentikan penyelewengan tersebut yang kemudian disebut dengan “tahun ketentuan” atau “a year of decision”. Kemudian yang keempat saat-saat tahun 1959 saat dimana Pemerintah tidak hanya mengatasi masalah penyelewengan tetapi juga telah kembali menemukan revolusi yang kemudian disebut dengan “tahun penemuan kembali revolusi” atau “rediscover our revolutions” dan memberi landasan yang teguh kepada Bangsa Indonesia berupa Manipol-USDEK (Manifesto Politik / UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia yang oleh Soekarno sebagai haluan dari pada Negara Republik Indonesia maka harus dijunjung tinggi, dipupuk, dan dijalankan oleh semua bangsa Indonesia). Kemudian pada tahun 1962 yaitu sebagai tahun kemenangan kelima dimana bangsa indonesia telah mencapai revolusi yang berideologi, revolusi yang berkonsepsi, revolsi yang tidak bergantung, revolusi yang berlandasan manipol-USDEK. Yang artinya tidak mungkin akan mencapai kemenangan ketika masih tetap Berliberalis, tetap bermulti-party-syastem, tetap tanpa kemudi, tetap tanpa bimbingan ide sosialisme. Tanpa adanya RESOPIM (Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional) juga bangsa Indonesia tidak akan mencapai cita-cita dalam tahun 1962 ini yang mempunyai makna bahwa bangsa Indonesia hanya bejuang, hanya bersemangat, hanya berkorban dan hanya membanting tulang saja tanpa mencapai hasil yang maksimal yang mengagumkan bagi seluruh dunia. Sebelum revolusi ber-Manipol-USDEK ini bangsa Indonesia melakukan revolusi hanya untuk mengusir kekuasaan Belanda dari Indonesia dan ketika kekuasaan Belanda terusir dari bumi Indonesia, revolusi Indonesia yang tanpa arah, satu revolusi yang bolong dan dimasuki kompromis-kompromis dan penyeleweng-penyeleweng.
       Bentuk – bentuk kemenangan yang dicapai pada tahun 1962 bermulai dari penyusunan kabinet kerja yang terang-gamblang dan  tegas-jelas dan yang benar-benar mencerminkan kebutuhan pokok Rakyat Indonesia dalam jangka pendek yaitu sandang-pangan, keamanan dan anti Imperalisme yang kemudian disebut sebagai Triporgram Pemerintah (Tri Program Kabinet Kerja meliputi masalah-masalah sandang pangan, keamanan dalam negeri, dan pengembalian Irian Barat). Selama bangsa Indonesia berjuang dengan landasan Nasional, tiga program tersebut pasti akan terwujud seperti slogan dari sang revolusioner “yang sukar kita selesaikan sekarang, yang tidak mungkin kita selesaikan besok”. Tahun kemenangnan ini tentunya perlu di konsolidasi dan distabilisasi agar benih-benih liberal dan parlementer serta anti republik dapat di Bumi hanguskan dari sistem pemerintahan Indonesia. Konsolidasi dan distabilisasi tersebut meliputi:

  1. Rehabilitasi dari Aparatur Negara yang telah rusak dan kacau sebagai akibat dari gangguan keamanan, dan usaha itu dilandaskan pada jiwa USDEK.
  2. Rehabilitasi materiil, personil, mental dan Phisik, Sosial-Ekonomi, didaerah-daerah yang bertahun-tahun telah menderita akibat gangguan keamanan.
  3. Mensukseskan Triprogram pemerintahan dan manipol pada umumnya.
       Pembebasan Irian Barat juga merupakan suatu keharusan karena persamaan satu bangsa yang mempunyai dasar jiwa yang sama, satu bangsa yang mempunya prinsip yang sama dan sebagai tahan air kita dan itu merupakan suatu kewajiban yang suci bangsa Indonesia untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda. Penyerahan Irian Barat yang diundur-undur ini membuat Soekarno naik pitam dan melancarkan politik Konfrontasi dalam segala bidang baik dalam bidang ekonomi dan juga gempuran-gempuran dalam bidang militer. Namun tidak semerta-merta Soekarno untuk langsung membumi hanguskan Belanda dari Irian Barat. Politik Konfrontasi tersebut harus disertai uluran tangan dimana palu godam yang siap menghantam namun tetap disertai jabatan tangan untuk persahabatan. Politik ini yang kemudian melahirkan Trikora:
  1. Gagalkan pembentukan "Negara Papua" bikinan Belanda kolonial
  2. Kibarkan sang merah putih di Irian Barat tanah air Indonesia
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa) yang berisi ajakan untuk memebebaskan Irian Barat dari tangan Belanda.
       Dalam politik konfrontasi ini Soekarno juga mencentuskan sebuah rencana yang dikenal dengan Rencana Bungker. Makna dari rencana tersebut adalah:

1.      Pemerintahan atas Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
2.  Sesudah sekian tahun dibawah Pemerintahan Republik, maka rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menentukan sendiri secara bebas nasibnya, tetap terus didalam Republik Indonesia? Atau memisahkan diri dari Republik Indonesia?
3.   Pelaksanaan penyerahan Pemerintahan di Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu dua tahun.
4.      Untuk menghindari bahwa kekuatan-kekuatan Indonesia langsung berhadap-hadapan dengan kekuatan Belanda, diadakan waktu-peralihan di bawah kekuasaan P.B.B. waktu-peralihan P.B.B ini akan berlaku satu tahun lamanya, diperlukan untuk memulangkan seluruh angkatan perang Belanda dan seluruh pegawai Belanda dari Irian Barat ke Nederland.
     Rencana tersebut diterima Belanda dengan rasa tak senang karena merasa dirugikan dalam perundingan tersebut. Menilik dari rasa tak senang tersebut yang kemudian membuat Soekarno mengutus para mentri untuk datang ke Washington untuk membuat sebuah deklarasi “pengertian bersama sementara antara Indonessia dan Belanda”. Deklarasi ini digunakan untuk meminimalisir adanya kesalahpahaman yang ditimbulkan dari Rencana Bungker tersebut. Isi dari pengertian bersama ini adalah :
1.    Sesudah ratifikasi oleh Indonesia, Belanda dan  PBB, maka selambat-lambatnya 1 Oktober 1962 pengusa PBB akan tiba di Irian Barat untuk mengoper pemerintahan dari tangan Belanda.
2.      Mulai saat itu, penguasa PBB akan memakai tenaga republik Indonesia(baik sipil maupun alat keamanan), bersama dengan alat-alat yang sudah ada di Irian Barat yang terdiri dari putra-putri Irian Barat dan sisi-sisa dari pegawai Belanda.
3.      Paratroop-paratroop kita tetap tinggal di Irian Barat, dibawah kekuasaan Administratif PBB
4.      Angkatan Perang Belanda mulai saat itu juga berangsur dipulangkan ke negeri Belanda. Yang belum pulang, akan di taruh dalam pengawasan PBB dan tidak boleh dipakai dalam operasi militer.
5.      Antara Irian Barat dan daerah Republik Indonesia lainnya adalah lalulintas bebas
6.      Tanggal 1 Januari 1963, atau 31 Desember 1963 bendera Sang Merah Putih secara resmi akan dikibarkan disamping bendera PBB
7.      Pemulangan Angkatan Perang Belanda dan pegawai Belanda harus selai pada tanggal 1 Mei 1963 dan sebentar sesudah itu Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengoper Pemerintahan di Irian Barat. Dari tangan PBB ke tangan Indonesia.
        Ajaran Belanda tentang liberalisme juga ditentang dengan keras oleh Soekarno karna pandangan Soekarno bahwa liberalisme hanya akan menjadi negara boneka dari Belanda. Paham tentang Republik harus dilekatkan pada sanubari Bangsa Indonesia agar ketika Belanda datang dengan Propaganda Liberalismenya bangsa ini dengan sigap mengatakan tidak. Bangsa ini harus paham dengan Republik agar benih-benih propaganda Liberalisme Belanda yang masih tinggal di Indonesia kembali tersadar dan menjadi pro-Republik serta kembali mengabdi ke Indonesia. Dengan paham yang demikian akan adanya satu harapan, bahwa kali ini pihak belanda bersungguh-sungguh secara jujur melaksanakan persetujuan yang dicapai itu karena selama berabad-abad bersengketa dengan Belanda dan hanya menimbulkan ceceran darah perjuangan. Penyelesaian sengketa ini juga harus dengan damai tidak secara Renville dan tidak secara Linggarjati agar kelak hubungan Indonesia-Belanda dapat berlangsung dengan baik.