Muhammad Yamin
dilahirkan pada 23 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatera Barat. Nama Ayahnya
adalah Usman dengan gelar Bagindo Khatib, yang semasa hidupnya bekerja sebagai mantri
kopi (sebuah pekerjaan pada masa penjajahan Belanda yang bekerja mengurus perkebunan
kopi dan mengawasi gudang-gudang kopi), sedangkan ibunya bernama Siti Sa’adah
yang berasal dari Panjang Panjang (Rahayu, 2008:72). Yamin menikah dengan
seorang wanita Jawa bernama Raden Ajeng Sundari Merto Amodjo pada 1934. Dari
pernikahannya tersebut, Yamin dikaruniai seorang putra bernama Dang Rahadian
Sinajangsih Yamin.
Muhammad Yamin
menjalankan pendidikan pertamanya di Sekolah Bumiputera Angka II (Sekolah
Melayu). Pendidikan Muhammad Yamin di Bumiputera berlangsung selama empat tahun
dan dalam masa pendidikannya itu, Muhamamd Yamin tidak mendapat pengajaran
bahasa Belanda. Setelah pendidikannya di Bumiputera selesai, Muhamamad Yamin
pindah bersekolah di HIS (Holands Inlandsche School) dan pada 1918
Muhammad Yamin lulus dari HIS. Setamatnya dari HIS, Yamin melanjutkan studinya
ke Bogor dengan memasuki Sekolah Dokter Hewan, namun tidak lama kemudian dia
pindah ke Sekolah Pertanian (Landbouwschool) yang juga terletak di Bogor
(Manus, dkk., 1993:65). Setelah lima tahun menjalani pendidikan di Sekolah Pertanian
Bogor, Yamin melanjutkan sekolah Belanda yang dulu dikenal dengan sebutan Algemene
Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Di sekolah tersebut, dia mempelajari
bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Setelah tamat
AMS, Yamin memiliki rencana untuk melanjutkan ke Leiden, akan tetepi sebelum
sempat berangkat, ayahnya meninggal dunia. Akhirnya Yamin batal untuk
melanjutkan sekolah ke luar negeri, dan memilih melanjutkan studi di Recht
Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de
Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.
Pendidikan dasar
sampai tingkat tinggi yang diterima, membuat Yamin banyak belajar tentang kesusastraan
asing dan kemudian membuatnya dikenal sebagai seorang sastrawan. Akan tetapi sebagai
seorang intelektual, Yamin tidak begitu saja menelan segala hal yang
didapatnya, melainkan memadukan konsep sastra Barat dengan gagasan kebudayan Indonesia.
Di dalam dunia sastra, nasionalisme seorang Muhammad Yamin dibuktikan dengan
menghindari pemakaian kata-kata Barat atau Belanda. Pada tahun 1922, Yamin
menciptakan puisi berjudul Tanah Air, terdapat 30 bait dan tiap bait terdiri
atas 9 baris. Menurut Yamin “Tanah Air” yang dimaksud ialah Sumatera. Kumpulan
puisi karya Yamin berikutnya berjudul Tumpah darahku yang ditampilkan pada
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tidak hanya sebagai sastrawan, Yamin juga
memiliki minat dalam sejarah nasional Indonesia. Menurut Yamin, sejarah adalah salah
satu cara mewujudkan cita-cita Indonesia Raya.
Kiprah Muhammad
Yamin selanjutnya adalah dalam bidang politik. Sejak bangku kuliah, Yamin sudah
aktif dalam pergerakan perjuangan melawan penjajah. Tahun 1926 sampai 1928, Yamin
ditunjuk menjadi ketua Jong Sumatera Bond. Kiprah politik Yamin selanjutnya
adalah sebagai perumus ikrar Sumpah Pemuda. Setelah turut terlibat dalam
Kongres Pemuda II, Yamin mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia dan setelahnya
masuk secara resmi ke dalam pemerintahan setelah diangkat sebagai anggota
Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) sampai tahun 1942.
Semasa
pendudukan Jepang antara tahun 1942 sampai 1945, Yamin bertugas di Pusat Tenaga
Rakyat (Putera). Pada pertengahan tahun 1945, Yamin menjadi anggota Badan
Penyelidik Usaha Usaha Kemerdekaan (BPUPK). Setelah Indonesia merdeka, Muhamamd
Yamin pernah menjabat sebagai: anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),
Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan
(1953–1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962) dan Ketua Dewan Pengawas
IKBN Antara (1961–1962). Jabatan terakhir Yamin adalah Menteri Penerangan. Saat
masih menjabat sebagai Menteri Penerangan tersebutlah, Yamin meninggal dunia di
Jakarta tanggal 17 Oktober 1962 di usia 50 tahun. Sebagai penghargaan atas
dedikasinya kepada bangsa Indonesia, Muhammad Yamin dianugerahi gelar pahlawan
nasional berdasarkan SK Presiden RI No.88/TK/1973.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya