Tuesday, February 14, 2017

Nasionalisme Indonesia dalam Pandangan Mohamad Yamin : Sidang Pertama BPUPK Tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945

Muhammad Yamin dalam Sidang Pertama BPUPK menjadi pembicara pada tanggal 29 Mei 1945 untuk memberikan pandangannya mengenai usulan dasar negara Indonesia Merdeka. Usulan dasar negara Muhammad Yamin diberi judul “Azas Dasar Negara Kebangsan Republik Indonesia”. Ada lima subjudul dalam konsepsi tersebut, yaitu: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3) Peri ke-Tuhanan; 4) Peri Kerakyatan; dan 5) Kesejahteraan Rakyat. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggali nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin yang secara khusus terdapat dalam usulan dasar negara “Peri Kebangsaan”. Hasil penelitian yang dapat dituliskan adalah sebagai berikut.
Muhammad Yamin meletakan usulan dasar negara “Peri Kebangsaan” dalam urutan pertama. Pada pidatonya tentang “Peri Kebangsaan”, Muhammad Yamin menyatakan bahwa:
Negara baru yang akan kita bentuk, adalah suatu negara kebangsaan Indonesia atau suatu nationale staat atau suatu Etat National yang sewajar dengan peradaban kita dan menurut susunan dunia sekeluarga di atas dasar kebangsaan dan ketuhanan. Negara Indonesia ini ialah sebagian menjadi pelaksanaan keinginan rakyat Indonesia sekarang dan sebagian lagi sebagai usaha dalam beberapa ratus tahun. Keinginan itu sumbernya dalam nasionalisme atau dalam dasar kebangsaan yang mengikat kita seturunan dan sesama kemauan, bukanlah menurut nasionalisme lama, melainkan menurut nasionalisme baru, yang berisi faham hendak mempersatukan rakyat dalam ikatan sejarah yang dilindungi mereka (Sekretariat Negara, 1995:11).
Kutipan pidato Muhammad Yamin di atas, analisis konteksnya adalah sebagai berikut.
1.      Pelibat Wacana dalam kutipan di atas bukan hanya Muhammad Yamin sebagai pembicara yang mengusulkan dasar negara untuk negara yang akan dibentuk, melainkan mewakili seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dibuktikan dalam penggunaan kata ganti kita. Kata ganti kita diucapkan sebanyak tiga kali oleh Muhammad Yamin, yaitu pada saat menyebut: “Negara baru yang akan kita bentuk”, “Suatu Etat National yang sewajar dengan peradaban kita”, dan “Nasionalisme atau dalam dasar kebangsaan yang mengikat kita seturunan dan sesama kemauan”. Pronomina kita merupakan pronominal jamak yang mengidentifikasikan bahwa orang yang berbicara sedang bersama dengan orang lain, termasuk yang diajak bicara. Dalam hal yang lebih jauh, khususnya dalam hal ideologi, pronomina kita, membentuk suatu bangunan sikap yang mencerminkan kebersamaan antara kamu dan aku.
2.      Medan Wacana dalam kutipan di atas dapat dibagi menjadi dua ranah, yaitu ranah jangka pendek dan jangka panjang. Muhammad Yamin menyatakan bahwa: “Negara Indonesia ini ialah sebagian menjadi pelaksanaan keinginan rakyat Indonesia sekarang dan sebagian lagi sebagai usaha dalam beberapa ratus.” Tujuan jangka pendek, nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin adalah sebagai wujud untuk pelaksanaan keinginan rakyat Indonesia hendak mendirikan Negara Indonesia, sedangkan tujuan jangka panjang nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin adalah nasionalisme sebagai sebuah usaha dalam beberapa ratus tahun. Pada tujuan jangka panjang, pandangan Muhammad Yamin dapat disebut sebagai pandangan nasionalisme Indonesia yang memiliki karakteristik dinamis, artinya nasionalisme merupakan sebuah proses yang terus berlangsung dan Muhammad Yamin membatasi dengan waktu “ratus tahun”.
3.      Modus wacana dalam kutipan pidato di atas disampaikan Muhamamad Yamin secara monolog dengan medium lisan.
Terdapat beberapa hal penting tentang nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin. Pertama, Negara Indonesia yang ingin dibentuk adalah suatu negara nationale staat atau suatu Etat National yang sewajar dengan peradaban kita dan menurut susunan dunia sekeluarga di atas dasar kebangsaan dan ketuhanan. Kedua, nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin memiliki karakteristik dinamis. Ketiga, nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu nasionalisme lama yang sudah tidak bisa dipakai lagi sebagai dasar Negara Indonesia dan nasionalisme baru yang dapat digunakan untuk mempersatukan rakyat dalam ikatan sejarah. Poin penting di atas kemudian dijabarkan lagi penjelasannya oleh Muhammad Yamin dalam kutipan sebagai berikut.
Inilah lain dan bedanya nasionalisme Indonesia zaman sekarang daripada usaha rakyat Indonesia mendirikan susunan kenegaraan Indonesia waktu terbentuk dalam negara Syailendra-Sriwijaya (600–1400) yang beratus-ratus tahun lamanya; di sanalah bedanya usaha kita sekarang daripada rakyat Indonesia waktu mendirikan Negara Indonesia kedua, seperti terbentuk dalam Kerajaan Majapahit (1293–1525). Negara Indonesia pertama dibentuk dan dijunjung oleh rakyat keturunan yang memakai kedatuan yang selaras dengan kepercayaan purbakala (kesaktian magie) dan agama Budha Mahayana. Negara Indonesia kedua disusun atas faham keperabuan, dan bersandar kepada panduan agama Syiwa dan Budha, menjadi agama Tantrayana. Negara Indonesia ketiga yang akan datang adalah pula negara kebangsaan dan berke-Tuhanan (Sekretariat Negara, 1995:11).
Kutipan pidato Muhammad Yamin di atas, berikut ini adalah analisis konteksnya.
1.      Pelibat Wacana adalah Muhammad Yamin. Dalam kutipan di atas, dapat dilihat bahwa Muhammad Yamin pada saat berbicara memposisikan diri sebagai seorang ahli sejarah Indonesia.
2.      Medan Wacana dalam kutipan di atas dalam ranah pengalaman dari Muhammad Yamin yang melihat bahwa proses nasionalisme Indonesia merupakan proses yang tidak dapat dilepaskan dari ikatan sejarah sebelumnya.
3.      Modus Wacana disampikan dengan cara persuasif, yaitu mengajak pelibat wacana lain (peserta Sidang Pertama BPUPK) untuk kembali melihat sejarah kebangsaan Indonesia.
Kutipan teks pidato Muhammad Yamin di atas memiliki hubungan yang erat dengan kutipan teks sebelumnya. Pada kutipan sebelumnya, Yamin membagi nasionalisme Indonesia dalam dua klasifikasi, yaitu nasionalisme lama dan nasionalisme baru. Nasionalisme tua menurut pandangan Muhammad Yamin adalah nasionalisme pada zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, sedangkan nasionalisme baru dalam pandangan Muhammad Yamin adalah Negara Kebangsaan Indonesia Merdeka. Tidak hanya mengklasifikasikan nasionalisme Indonesia menjadi dua, Muhammad Yamin juga membagi tahap fase Negara Kebangsaan (Etat National), menjadi tiga, yaitu: pertama, Negara Kebangsaan Zaman Sriwijaya, kedua, Negara Kebangsaan Zaman Majapahit, dan ketiga, Negara Kebangsaan Indonesia Merdeka. 
Menurut Muhamamd Yamin, setiap fase negara kebangsaan memiliki dasarnya nasionalisme yang berbeda-beda. Negara Kebangsaan Pertama (Kerajaan Sriwijaya) dibentuk dan dijunjung oleh rakyat keturunan yang memakai kedatuan yang selaras dengan kepercayaan purbakala (kesaktian magie) dan agama Budha Mahayana. Negara Kebangsaan Kedua (Kerajaan Majapahit) disusun atas faham keperabuan dan berdasar kepada panduan agama Syiwa dan Budha (gabungannya menjadi agama Tantrayana). Terakhir, Negara Kebangsaan Ketiga (Negara Kebangsaan Indonesia Merdeka) yang berdasar pada kebangsaan dan berke-Tuhanan.
Pandangan Muhammad Yamin tentang tiga fase negara kebangsaan di atas apabila dilihat memiliki persamaan, yaitu menekankan pada prinsip kebangsaan dan ke-Tuhanan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hal tersebut mencerminkan karakteristik nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin yang bersifat religius (tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai keagamaan) yang disesuaikan dengan perkembangan zaman yang sedang terjadi ketika negara kebangsaan tersebut disusun. Bukti eksplisit bahwa dasar kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sifat religius dapat dilihat dari penggabungan: 1) Negara Indonesia Pertama (Sriwijaya) memakai dasar kedatuan dan berlandaskan kepercayaan magis dan agama Budha Mahayana; 2) Negara Indonesia Kedua (Majapahit) memakai dasar keperabuan dan bersandar pada panduan agama Syiwa dan Budha (digabung menjadi agama Tantrayana); dan 3) Negara Indonesia Ketiga yang akan datang memakai dasar kebangsaan dan berke-Tuhanan. 
Karakteristik nasionalisme Indonesia menurut Muhammad Yamin selanjutnya dari kutipan teks pidato di atas adalah nasionalisme yang memiliki kepercayaan diri. Kepercayaan diri dalam nasionalisme Indonesia oleh Muhammad Yamin didapatkan dari kenangan akan kejayaan masa lalu. Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit telah menjadi inspirasi bagi Muhammad Yamin karena telah berhasil menjadi suatu negara kebangsaan. Muhamamad Yamin merefleksikan sejarah untuk menunjukkan kebanggaan terhadap masa lalu Indonesia yang ternyata pernah mengalami masa kejayaan.
Pada pidato selanjutnya Muhammad Yamin mengatakan bahwa dasar kedatuan atau keprabuan tidak bisa digunakan lagi menjadi dasar Indonesia Merdeka. Dasar tersebut sudah tidak dapat dipakai karena rakyat Indonesia sudah mengalami perubahan, aspirasi rakyat sekarang sudah jauh dari zaman Kerajaan Sriwijaya dan zaman Kerajaan Majapahit, agama sudah berlainan, pemikiran rakyat sudah berbeda, dan susunan dunia juga sudah berbeda (Sekretariat Negara, 1995:11– 12). Kemudian Muhammad Yamin menguraikan tentang dasar negara yang sesuai dengan perkembangan zaman di Indonesia saat itu. Kutipan Muhammad Yamin tentang dasar negara Indonesia yang sesuai dengan perkembangan zaman adalah sebagai berikut.
Walaupun demikian, rakyat Indonesia mesti mendapat dasar negara yang berasal daripada peradaban kebangsaan Indonesia; orang Timur kembali pulang kepada kebudayaan Timur. Itulah sebabnya, maka dasar kebangsaan bagi negara Indonesia hendaklah dicari tidak dalam susunan negara bagian atas dalam zaman dahulu, walaupun dalam zaman emas sekalipun, karena dalam 400 tahun ini sejak runtuhnya kerajaan kedua, tradisi tidak bersambung lagi sampai sekarang. Juga tidak boleh lagi bercermin atau meniru-niru dasar susunan kerajaan kecil-kecil sesudah tahun 1500. Nasihat ini dapat diberi alasan dengan menyelediki keadaan susunan tanah Indonesia seluruhnya diliputi oleh negara malahan pula seluruh Indonesia tidaklah habis terbagi atas beberapa kerajaan. Kerajaan-kerajaan kita dalam masa kegelapan ini tidak mempunyai daerah yang terbatas, tidak mempunyai pembagian pemerintahan yang tetap, dan penduduknya tidak berhubungan dengan kerajaan-kerajaan itu secara perhubungan keputraan negara. Pada waktu itu banyaknya kerajaan daerah di tanah Indonesia adalah kira-kira 300 buah (Sekretariat Negara, 1995:12).
Kutipan Muhammad Yamin di atas, analisis konteksnya adalah sebagai berikut.
1.      Pelibat Wacana dalam kutipan teks di atas adalah Muhammad Yamin yang sedang memberikan penegasan usulan dasar negara “Peri Kebangsaan” Indonesia Merdeka.
2.      Medan Wacana dalam kutipan di atas, dapat dibagi menjadi dua tujuan, yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Pembahasan mengenai dasar negara seperti yang termuat dalam kutipan di atas, tujuan jangka pendeknya adalah memberikan penegasan dasar negara Indonesia semestinya berasal dari peradaban kebangsaan Indonesia. Tujuan jangka panjang adalah penetapan unsur-unsur kelengkapan Negara Republik Indonesia di masa mendatang yang tersirat dalam kalimat: “Kerajaan-kerajaan kita dalam masa kegelapan ini tidak mempunyai daerah yang terbatas, tidak mempunyai pembagian pemerintahan yang tetap, dan penduduknya tidak berhubungan dengan kerajaan-kerajaan itu secara perhubungan keputraan negara (Sekretariat Negara, 1995:12).
3.      Modus Wacana disampaikan secara persuasif, yaitu membujuk secara halus untuk meyakinkan peserta Sidang Pertama BPUPK bahwa dasar negara Indonesia semestinya adalah dasar negara yang berasal dari peradaban bangsa Indonesia.
Berdasarkan data primer dan analisis konteks yang telah dilakukan, ada beberapa poin penting yang dapat ditulisan adalah sebagai berikut.
Pertama, karateristik nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin adalah nasionalisme Indonesia yang sesuai dengan peradaban Indonesia. Peradaban yang dipilih oleh Muhammad Yamin seperti yang sudah dibahas sebelumnya adalah peradaban yang disesuaikan dengan peradaban rakyat Indonesia zaman sekarang (kata sekarang menunjuk pada waktu ketika Sidang BPUPK dilaksanakan, yaitu tanggal 29 Mei 1945). Lebih lanjut, Muhammad Yamin menyatakan bahwa, “Orang Timur kembali pulang ke kebudayaan Timur”. Kata “Timur” yang dimaksud Muhammad Yamin adalah Asia. Munculnya kalimat kembali ke kebudayaan Timur barangkali merupakan manifestasi atas sikap Muhammad Yamin yang menolak menerima dasar kebangsaan Indonesia dari kebudayaan lain, misalnya kebudayaan Barat.
Pandangan Muhammad Yamin tentang nasionalisme Indonesia harus sesuai peradaban Indonesia kemudian ditegaskan lagi dalam pernyataan untuk tidak meniru dasar susunan bangsa atau negara lain. Ada tiga kali pernyataan yang menyatakan keinginan untuk tidak meniru. Pernyataan pernyataan tersebut adalah sebagai berikut.
Walaupun begitu, kita tidak berniat lalu akan meniru sesuatu susunan tata negara negeri luaran. Kita bangsa Indonesia masuk yang beradab dan kebudayaan kita beribu-ribu tahun umurnya (Sekretariat Negara, 1995:12).
Negara Indonesia disusun tidak dengan meminjam atau meniru negeri lain, dan bukan pula salinan daripada jiwa atau peradaban bangsa lain, melainkan semata-mata kelengkapan yang menyempurnakan kehidupan bangsa yang hidup berjiwa di tengah-tengah rakyat dan tumpah darah yang menjadi ruangan hidup sejak purbakala; kelengkapan itu hendaklah sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia sekarang (Sekretariat Negara, 1995:13).
Pokok-pokok aturan dasar Negara Indonesia haruslah disusun menurut watak peradaban Indonesia, dan jikalau hanya dengan meniru atau menyalin constitutie negara lain, maka negara tiruan yang akan dipinjamkan kepada Indonesia tentulah tidak akan hebat dan dalam sedikit waktu saja akan jatuh layu sebagai bunga patah di tangkai (Sekretariat Negara, 1995:13–14).
Perbuatan meniru dalam upaya mencari dasar negara Indonesia di akhir pidato Muhammad Yamin tentang usulan dasar negara “Peri Kebangsaan” pada akhirnya diperbolehkan dengan syarat perbuatan meminjam, menyalin, meniru, dan turut-turutan dari hukum dasar atau peradaban luaran hanyalah boleh dijadikan sebagai cermin saja. Kita tidak menghargakan bayangan dalam cermin, melainkan semata-mata berkeinginan untuk memberi wujud dan pelaksanaan kepada kemauan jiwa dan keinginan rakyat Indonesia (Sekretariat Negara, 1995:14).
Kedua, terkait penetapan unsur-unsur yang harus dipikirkan untuk melengkapi berdirinya sebuah negara. Unsur-unsur tersebut adalah wilayah, penduduk (rakyat), dan pemerintahan. Muhammad Yamin memiliki pandangan bahwa dasar kebangsaan bagi negara Indonesia tidak bisa dicari dalam susunan negara bagian atas (Sriwijaya dan Majapahit) dan tidak boleh menggunakan susunan negara bawahan (negara kecil-kecil yang jumlahnya hampir 300 kerajaan). Ada beberapa sebab mengapa unsur-unsur esensial berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak bisa bercermin dari negara bagian atas dan negara bawahan zaman dahulu, alasan tersebut adalah:
1) Wilayah: Muhammad Yamin mempunyai pandangan bahwa susunan tanah (wilayah) Indonesia haruslah diliputi seluruhnya oleh Negara Kebangsaan Indonesia, bukan seperti pada zaman dahulu yang tidak habis terbagi oleh beberapa kerajaan-kerajaan. Yamin memiliki pandangan bahwa kebangsaan Indonesia haruslah disertai dengan wilayah atau daerah yang memiliki batas batas yang jelas dan tegas; 2) Penduduk pada zaman dahulu tidak berhubungan dengan kerajaan kerajaan itu secara perhubungan keputraan negara (tidak memilki kewarganegaraan); dan 3) Pemerintahan pada zaman dahulu pembagiannya tidak tetap. Terkait pembagian pemerintahan, Yamin menyebutkan dalam pidatonya bahwa kerajaan-kerajaan pada zaman dahulu berdasarkan negara-pusaka (etaats patrimonies) atau negara-kekuasaan (etaats puissances). 
Pandangan Muhammad Yamin tentang unsur-unsur esensial negara selanjutnya terdapat dalam pidato yang disampaikan selanjutnya. Kutipan pidato Muhammad Yamin tentang unsur-unsur negara adalah sebagai berikut.
Dengan penuh keyakinan, bahwa negara itu berhubungan rapi hidupnya dengan tanah air, bangsa, kebudayaan, dan kemakmuran Indonesia, seperti setangkai bunga berhubungan rapi dengan dahan dan daun, cabang dan urat bersama-sama dengan alam dan bumi; bernyawa sehat, maka  kewajiban kita yang pertama kali menyusuli dasar hidup kita ke dalam pangkuan haribaan kita sendiri, sebelumnya kita membicarakan bentuk, cara memerintah dan susunan Pemerintah nanti. Negara Indonesia disusun tidak dengan meminjam atau meniru negeri lain, dan bukan pula salinan daripada jiwa atau peradaban bangsa lain, melainkan semata-mata kelengkapan yang menyempurnakan kehidupan bangsa yang hidup berjiwa di tengah-tengah rakyat dan tumpah-darah yang menjadi ruangan hidup sejak purbakala; kelengkapan itu hendaklah sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia sekarang. (Sekretariat Negara, 1995:13).
Kutipan Muhammad Yamin di atas, analisis konteksnya adalah sebagai berikut.
1)      Pelibat Wacana dalam kutipan di atas adalah Muhammad Yamin.
2)      Medan Wacana pada kutipan di atas adalah dalam ranah pengalaman. Ranah pengalaman pada kutipan di atas adalah proses Muhammad Yamin untuk menyakinkan bahwa Negara Indonesia yang akan dibentuk merupakan penyempurnaan kehidupan bangsa Indonesia yang sudah hidup dan tumpah-darah yang menjadi ruangan hidup sejak purbakala.
3)      Modus Wacana dalam kutipan di atas adalah Muhammad Yamin berbicara dengan penuh keyakinan tentang hubungan negara dengan tanah air, bangsa, kebudayaan, dan kemakmuran Indonesia.
Muhammad Yamin memiliki pandangan bahwa sebuah negara mempunyai hubungan yang rapi dengan tanah air, bangsa, kebudayaan, dan kemakmuran Indonesia. Yamin mengibaratkan negara dengan metafora setangkai bunga. Setangkai bunga (negara) tersusun atas dahan (tanah) dan daun (air), cabang (bangsa) dan urat (kebudayaan) yang bersama-sama dalam alam dan bumi akan memberikan setangkai bunga yang bernyawa sehat (kemakmuran Indonesia). Metofora “Setangkai Bunga” Muhammad Yamin apabila diartikan lebih jauh lagi adalah tanah dan air merupakan satu kesatuan landasan fisik negara Indonesia, bangsa dan kebudayaan (unsur subjektif) merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan juga, dan kemakmuran Indonesia merupakan tujuan yang hendak dicapai Negara Indonesia. Pandangan berikutnya tentang negara yang disampaikan oleh Muhammad Yamin adalah negara merupakan sebuah kelengkapan yang mesti diadakan untuk menyempurnakan kehidupan bangsa yang sudah tinggal dalam tumpah-darah Indonesia (ruangan hidup). Negara Indonesia merupakan perwujudan dari keinginan rakyat Indonesia sekarang.
Keinginan dari rakyat Indonesia untuk mendirikan sebuah negara kebangsaan sudah dijelaskan Muhammad Yamin hendaknya memiliki karakteristik sesuai dengan peradaban bangsa Indonesia. Peradaban-peradaban seperti apa yang dimaksud oleh Muhammad Yamin yang mencirikan nasionalisme Indonesia dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Dan sifat keinginan itu memang dapat disusul dengan jelasnya dalam peradaban bangsa Indonesia yang memeluk agama dan hidup beradab dan mempunyai pikiran pembaruan, yang menandakan, bahwa yang akan diberi negara adalah suatu bangsa yang berkebudayaan tinggi, berjiwa dan berkeadaban luhur. Maka dengan sendirinya si pembicara ini menyusun dasar negara itu dalam adat, agama, dan otak Indonesia, dan menurut pendapatnya dalamnya memang memanglah tersimpan persesuaian dasar yang akan menjadi sendi pembentukan negara (Sekretariat Negara, 1995:13).
Kutipan Muhammad Yamin di atas, analisis konteksnya adalah sebagai berikut.
1)      Pelibat Wacana pada kutipan Muhammad Yamin sebagai seorang yang ditunjuk untuk memberikan pendapat tentang usulan dasar negara. Kata ganti “si pembicara ini” menunjukan bahwa Muhammad Yamin sedang memposisikan diri sebagai pembicara.
2)      Medan Wacana pada kutipan di atas memuat ranah pengalaman Muhammad Yamin yang telah merefleksikan berbagai sikap-sikap yang mencerminkan karakteristik peradaban Indonesia.
3)      Modus Wacana pada kutipan di atas bersifat persuasif, artinya Muhammad Yamin sedang meyakinkan para peserta Sidang Pertama BPUPK terhadap pendapat yang sedang dikemukakannya.
Karakteristik peradaban bangsa Indonesia zaman itu adalah bangsa Indonesia yang memeluk agama, hidup beradab, dan mempunyai pikiran pembaharuan, sehingga negara yang akan dibentuk haruslah memuat pokok-pokok dasar suatu bangsa yang berkebudayaan tinggi, berjiwa, dan berkeadaban luhur.
Berdasarkan analisis wacana yang telah dilakukan terhadap teks pidato Muhammad Yamin tentang usulan dasar negara khususnya “Peri Kebangsaan” pada Sidang Pertama BPUPK tanggal 29 Mei 1945, diperoleh ringkasan hasil penelitian nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin adalah sebagai berikut.
Pertama, Peri Kebangsaan atau nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin memiliki karakteristik dinamis. Dinamis artinya memiliki tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek nasionalisme Indonesia sebagai wujud pelaksanaan keinginan rakyat Indonesia yang hendak mendirikan Negara Indonesia, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah nasionalisme sebagai sebuah usaha dalam beberapa ratus tahun.
Kedua, Negara Indonesia yang ingin dibentuk dalam pandangan Muhammad Yamin adalah suatu negara nationale staat atau suatu Etat National yang sewajar dengan peradaban Indonesia dan menurut susunan dunia sekeluarga di atas dasar kebangsaan dan ketuhanan. Hal ini berarti, nasionalisme dalam pandangan Muhammad Yamin adalah nasionalisme kebangsaan Indonesia.
Ketiga, ada tiga fase negara kebangsaan Indonesia, yaitu: pertama, Negara Kebangsaan Zaman Kerajaan Sriwijaya, kedua, Negara Kebangsaan Zaman Kerajaan Majapahit, dan ketiga, Negara Kebangsaan Indonesia Merdeka. Fase pertama dan kedua disebut sebagai nasionalisme lama dan fase ketiga disebut sebagai bentuk nasionalisme baru.
Keempat, nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin memiliki karakteristik religius (tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai keagamaan) yang disesuaikan dengan perkembangan zaman yang sedang terjadi ketika suatu negara kebangsaan disusun.
Kelima, nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin adalah nasionalisme yang memiliki kepercayaan diri. Kepercayaan diri dalam nasionalisme Indonesia Muhammad Yamin didapatkan dari kenangan akan kejayaan masa lalu seperti kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit.
Keenam, karakteristik nasionalisme Indonesia dalam pandangan Muhammad Yamin selanjutnya adalah nasionalisme atau kebangsaan Indonesia yang sesuai dengan peradaban Indonesia yang tidak meniru dasar kebangsaan bangsa atau negara lain. Peradaban yang dimaksud adalah peradaban yang disesuaikan dengan peradaban Indonesia sekarang. Karakteristik peradaban bangsa Indonesia adalah bangsa Indonesia yang memeluk agama, hidup beradab, dan mempunyai pikiran pembaharuan, sehingga negara yang akan dibentuk haruslah memuat pokok-pokok dasar suatu bangsa yang berkebudayaan tinggi, berjiwa, dan berkeadaban luhur.

Ketujuh, sebuah negara harus memiliki unsur-unsur esensial, yaitu wilayah, penduduk, dan pemerintahan. Terkait unsur wilayah, Muhammad Yamin memiliki pandangan bahwa bangsa Indonesia haruslah disertai dengan wilayah atau daerah yang memiliki batas- batas yang jelas. Yamin menambahkan juga metafora negara dengan sebutan “Setangkai Bunga”. Menurut Yamin, Setangkai bunga (negara) tersusun atas dahan (tanah) dan daun (air), cabang (bangsa) dan urat (kebudayaan) yang bersama-sama dalam alam dan bumi akan memberikan setangkai bunga yang bernyawa sehat (kemakmuran Indonesia). Metofora “Setangkai Bunga” Muhammad Yamin apabila diartikan lebih jauh lagi adalah tanah dan air merupakan satu kesatuan landasan fisik negara Indonesia, bangsa dan kebudayaan (unsur subjektif) merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan juga, dan kemakmuran Indonesia merupakan tujuan yang hendak dicapai Negara Indonesia.

Biografi Mohamad Yamin : "Pahlawan Nasional"


Muhammad Yamin dilahirkan pada 23 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatera Barat. Nama Ayahnya adalah Usman dengan gelar Bagindo Khatib, yang semasa hidupnya bekerja sebagai mantri kopi (sebuah pekerjaan pada masa penjajahan Belanda yang bekerja mengurus perkebunan kopi dan mengawasi gudang-gudang kopi), sedangkan ibunya bernama Siti Sa’adah yang berasal dari Panjang Panjang (Rahayu, 2008:72). Yamin menikah dengan seorang wanita Jawa bernama Raden Ajeng Sundari Merto Amodjo pada 1934. Dari pernikahannya tersebut, Yamin dikaruniai seorang putra bernama Dang Rahadian Sinajangsih Yamin.
Muhammad Yamin menjalankan pendidikan pertamanya di Sekolah Bumiputera Angka II (Sekolah Melayu). Pendidikan Muhammad Yamin di Bumiputera berlangsung selama empat tahun dan dalam masa pendidikannya itu, Muhamamd Yamin tidak mendapat pengajaran bahasa Belanda. Setelah pendidikannya di Bumiputera selesai, Muhamamad Yamin pindah bersekolah di HIS (Holands Inlandsche School) dan pada 1918 Muhammad Yamin lulus dari HIS. Setamatnya dari HIS, Yamin melanjutkan studinya ke Bogor dengan memasuki Sekolah Dokter Hewan, namun tidak lama kemudian dia pindah ke Sekolah Pertanian (Landbouwschool) yang juga terletak di Bogor (Manus, dkk., 1993:65). Setelah lima tahun menjalani pendidikan di Sekolah Pertanian Bogor, Yamin melanjutkan sekolah Belanda yang dulu dikenal dengan sebutan Algemene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Di sekolah tersebut, dia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Setelah tamat AMS, Yamin memiliki rencana untuk melanjutkan ke Leiden, akan tetepi sebelum sempat berangkat, ayahnya meninggal dunia. Akhirnya Yamin batal untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri, dan memilih melanjutkan studi di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.
Pendidikan dasar sampai tingkat tinggi yang diterima, membuat Yamin banyak belajar tentang kesusastraan asing dan kemudian membuatnya dikenal sebagai seorang sastrawan. Akan tetapi sebagai seorang intelektual, Yamin tidak begitu saja menelan segala hal yang didapatnya, melainkan memadukan konsep sastra Barat dengan gagasan kebudayan Indonesia. Di dalam dunia sastra, nasionalisme seorang Muhammad Yamin dibuktikan dengan menghindari pemakaian kata-kata Barat atau Belanda. Pada tahun 1922, Yamin menciptakan puisi berjudul Tanah Air, terdapat 30 bait dan tiap bait terdiri atas 9 baris. Menurut Yamin “Tanah Air” yang dimaksud ialah Sumatera. Kumpulan puisi karya Yamin berikutnya berjudul Tumpah darahku yang ditampilkan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tidak hanya sebagai sastrawan, Yamin juga memiliki minat dalam sejarah nasional Indonesia. Menurut Yamin, sejarah adalah salah satu cara mewujudkan cita-cita Indonesia Raya.
Kiprah Muhammad Yamin selanjutnya adalah dalam bidang politik. Sejak bangku kuliah, Yamin sudah aktif dalam pergerakan perjuangan melawan penjajah. Tahun 1926 sampai 1928, Yamin ditunjuk menjadi ketua Jong Sumatera Bond. Kiprah politik Yamin selanjutnya adalah sebagai perumus ikrar Sumpah Pemuda. Setelah turut terlibat dalam Kongres Pemuda II, Yamin mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia dan setelahnya masuk secara resmi ke dalam pemerintahan setelah diangkat sebagai anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) sampai tahun 1942.
Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 sampai 1945, Yamin bertugas di Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Pada pertengahan tahun 1945, Yamin menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Usaha Kemerdekaan (BPUPK). Setelah Indonesia merdeka, Muhamamd Yamin pernah menjabat sebagai: anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962) dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962). Jabatan terakhir Yamin adalah Menteri Penerangan. Saat masih menjabat sebagai Menteri Penerangan tersebutlah, Yamin meninggal dunia di Jakarta tanggal 17 Oktober 1962 di usia 50 tahun. Sebagai penghargaan atas dedikasinya kepada bangsa Indonesia, Muhammad Yamin dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No.88/TK/1973.

Tuesday, January 31, 2017

Sejarah Gerakan Samin Dalam Menentang Kolonialisme Barat (Samin Motion History)



Perlawanan dan pemberontakan pribumi pada awal abad ke-20 kian gencar terjadi baik dalam bentuk dan skala yang berbeda-berbeda disetiap daerah. Di Jawa khususnya pada periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak berkembang pergerakan dan pemberontakan yang bersifat mesianistis. Periode ini, merupakan masa dimana masyarakat Jawa merasakan penderitaan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial. Kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial, semakin membuat rakyat pribumi sangat menderita dan tidak memperoleh kesejahteraan.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial seperti melakukan eksploitasi sumber daya alam (tanah) dan sumber daya manusia (kerja paksa) yang terus dilaksanakan demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya yang pada akhirnya mengakibatkan banyak penderitaan bagi rakyat. Lebih-lebih bagi petani, akibat diterapkanya sistem tanam paksa pada tahun 1830-1870 (di beberapa daerah dalam praktiknya sampai dengan 1918) membawa kesengsaraan bagi rakyat pribumi. Kebijakan tanam paksa (culture-stelsel) ini membuat petani di Jawa harus kehilangan banyak waktu kerja untuk menggarap tanah sendiri, karena harus menjalani kewajiban menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman eksport dan kewajiban bekerja pada kebun milik pemerintahan bagi yang tidak memiliki tanah.
Akibatnya munculah berbagai pemberontakan-pemberontan yang dilakukan oleh para petani diberbagai daerah. Misalnya saja pada tahun 1888 terjadi pemberontakan petani di Banten. Pemicu terjadinya pemberontakan ini menurut Sartono Kartodirjo diakibatkan karena pada tahun 1882 pemerintahan Hindia Belanda melaksanakan peraturan penetapan pajak atas tanah pertanian. Akibatnya, konflik antara rakyat dengan tatanan sosial politik yang dibangun oleh penguasa kolonial tak terelakan lagi (A. Pieter dalam Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:38-39).
Kondisi sosial-ekonomi politik dan budaya yang memburuk inilah yang akhirnya mendorong Samin Surosentiko untuk membuat sebuah perkumpulan di tahun 1890. Sejak kemunculannya pada awal abad ke-20 disurat kabar dan majalah berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda, Samin Surosentiko (1859-1914) dan ajaran-ajaranya mendapatkan banyak perhatian, baik dari pemerintahan Hindia Belanda maupun orang-orang Jawa diberbagai wilayah.
Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859 di desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Nama asli Samin adalah Raden Kohar, yang kemudian dirubah menjadi Samin supaya bernuansa kerakyatan. Kemudian setelah menjadi guru kebatinan namanya berubah menjadi Samin Surosentiko, dan khusus untuk para pengikutnya memanggilnya Kyai Samin Surosentiko (Suripan, 1996:13-14). Samin sendiri ialah seorang petani, ia dapat digolongkan sebagai petani yang berkecukupan, dalam arti relatif karena dapat memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri. Ia memiliki sawah seluas 3 bau (kira-kira 2 ha) tanah ladang kira-kira ¾ ha, dan beberapa ekor sapi (Marwati Djoened, 1993:442).
Dalam laporan Cipto Mangunkusumo yang merupakan orang Indonesia pertama yang melakukan penelitian tentang Samin, pada tahun 1918 menyebutkan bahwa ayah dan kakek Samin adalah petani biasa, tapi ayah kakeknya yaitu buyutnya Samin adalah Kiai Keti dari Rajegwesi (sekarang Bojonegoro), sedangkan kakek buyutnya adalah Pangeran Kusumaningayu (Raden Mas Adipati Brotodiningrat yang memerintah Kabupaten Sumoroto, sekarang daerah kecil di Kabupaten Tulungagung, pada tahun 1902-1826) (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:125).
Samin Surosentiko hidup pada masa penjajahan, dimana kurang lebih pada tahun 1860 semua wilayah di Jawa dipangkas hubungan administratifnya dengan keraton dan diambil alih oleh pemerintahan Hindia-Belanda, sementara keraton secara tidak langsung diperintah oleh Belanda lewat pemerintahan Boneka yang mereka buat. Kedudukan Bupati masih dipertahankan, akan tetapi Belanda-lah yang mengorganisasi pemerintahan Bupati. Kedudukanya menjadi lebih Birokratis dengan dibantu oleh patih, wedana, dan Camat.
Pada saat dewasa, Samin Surosentiko banyak melihat keadaan-keadaan sosial masyarakat petani yang menunjukan keadaan yang memprihatinkan. Hal ini yang akhirnya membuat Samin tergerak hatinya untuk menghapuskan penderitaan rakyat khususnya para petani. Sehingga hal inilah yangmembuat Samin untuk menarik pengikut yaitu para petani didesanya dan desa-desa disekitarnya untuk menolak segala bentuk kekuasaan dari luar khususnya pemerintahan kolonial. 
Dari awal munculnya gerakan Samin, menunjukan bahwa gerakan ini tidak bermaksut untuk melakukan pemberontakan secara fisik, akan tetapi mereka bermaksut untuk mengembalikan tatanan kehidupan dengan cara membangkan atau tidak menuruti aturan-aturan dari pemerintahan kolonial yang dianggap merugikan dan menyengsarakan rakyat.
Pemberontakan tanpa kekerasan yang dilakukan oleh para gerakan ini, tidakalah lepas dari ajaran kehidupan yang telah diajarkan oleh Samin Surosentiko. Menurut pendapatnya Bryan Wilson (dalam bukunya Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:48-49), dari awal ajaran kebatinan Samin bukan saja bersifat konversional, tapi juga sekaligus revolusioner, dengan semangat miliniaritis dan mesianistinya. Seperti diketahui bahwa gerakan mesianistis biasanya bergantung pada kehadiran Ratu Adil yang dianggap akan melakukan perubahan masyarakat secara radikal menuju kehidupan yang lebih baik.
Prinsip pokok ajaran Samin sebenarnya sangat sederhana, yang diwakili dengan ungkapan Wong Sikep weruh teke dewe, orang sikep tahu miliknya sendiri. Misalnya yaitu mereka tidak mengambil yang bukan haknya dan tidak melakukan hal yang bukan menjadi kewajibanya. Salah satu contohnya soal membayar pajak. Mereka beranggapan bahwa tanah pertanian adalah milik mereka sendiri, dalam hal ini pemerintahan tidak boleh ikut campur. Namun apabila kepala desa menarik iuran mereka akan memenuhinya(Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:55).
Ajaran Samin ini mulai dikembangkan pada tahun 1890 oleh Samin Surontika di Plosowetan, desa Klopodhuwor, Blora. Pada waktu itu usia Samin diperkirakan 31 tahun. Orang-orang desa sekitarnya antara lain dari desa Tapelan, banyak yang datang berguru kepadanya. Hal ini dikarenakan sebelumnya pada tahun 1870, mulai ditetapkan peraturan Staarsblaad No. 55 mengenai domainverklaring. Berdasarkan peraturan ini pemerintah kolonial berhak mengklaim tanah milik rakyat yamg tidak bisa menunjukan bukti tertulis kepemilikan (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:20).
Pada waktu itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik pada ajaran Samin, sebab ajaran itu masih dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang tidak mengganggu keamanan (Suripan, 1996:14). Akan tetapi setelah pemerintah kolonial mulai menetapkan peraturan-peraturan baru yang semakin merugikan rakyat, seperti status houtvesterijen pada tahun 1897 yang membatasi akses rakyat kedalam hutan, serta dilarang mengambil kayu dari dalam hutan (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:20-21). Kemudian juga Etische Politiek pada tahun 1901, yang teryata program-programnya tidak lain hanyalah untuk kepentingan bangsa kolonial. Membuat rakyat sekitar tempat tinggal Samin semakin tertarik untuk mengikuti ajaran Samin. Menurut laporan Residen Rembang L. Ch. H. Fraenkel pada tahun 1903, melaporkan bahwa ada 772 orang Samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:21).
Pemberontakan yang dilakukan gerakan Samin mulai terlihat pada tahun 1904. Penduduk desa Benikudon di Grobogan dilaporkan telah mengadopsi ajaran Samin. Mereka dilaporkan melakukan penolakan membayar pajak dan aturan lain. Akan tetapi hal ini masih belum ada tanggapan dari pemerintah kolonial. Menurut laporan Japer, gambaran umum tentang gerakan Samin pada masa itu adalah tidak berbeda dari ajaran Islam dan belum menentang pemerintah secara langsung (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:21).
Pada tahun 1905 mulai ada perkembangan baru. Orang-orang desa yang menganut ajaran Samin Surosentiko mulai mengubah tatacara hidup mereka dari pergaulan sehari-hari di desanya. Mereka tak mau lagi menyetor padi kelumbung desa dan tak mau membayar pajak, serta menolak untuk mengandangkan sapi dan kerbau mereka dikandang umum bersama-sama dengan orang desa lainnya yang bukan orang Samin. Sikap yang demikian itu sangat membingungkan dan menjengkelkan pamong desa. Itulah sebabnya banyak orang yang tidak senang pada mereka. Mereka dijuluki “wong Samin”, “wong sikep” dan “wong Dam” (orang yang menggilut agama Adam) (Suripan, 1996:14).
Sampai pada tahun 1907 jumlah pengikut Samin berjumlah 5.000. hal inilah yang akhirnya membuat pemerintah kolonial Belanda sangatlah terkejut dan merasa takut, apalagi tatkala mendengar bahwa pada tanggal 1 Maret 1907 mereka akan memberontak. Karena pada waktu itu di desa Kedhung Tuban, Blora, ada orang Samin yang menyelenggarakan selametan (syukuran). Orang Samin yang datang menghadiriselametan di desa Kedhung Tuban tersebut lalu ditangkap, sebab mereka dianggap mempersiapkan pemberontakan (Suripan, 1996:14-15).
Pada tanggal 8 November 1907 Samin Surontika diangkat oleh para pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian setelah 40 hari peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo, Ndoro Seten (Asisten Wedana) di Randublatung, Blora, dan ditahan di bekas tobong bekas pembakaran batu gamping. Sesudah itu dia dibawa ke Rembang. Di Rembang dia diinterogasi, kemudian dia bersama delapan pengikutnya dibuang di Sawahlunto, Padang. Diapun akhirnya meninggal disana pada tahun 1914 (Suripan, 1996:23).
Teryata penangkapan Samin Surosentiko ini tindaklah memadamkan semangat para pengikutnya. Pada 1908, Wongsorejo yang merupakan pengikut Samin Surontika giat menyebarkan ajaran Samin di distrik Jiwan, Madiun. Di sini orang-orang desa dihasut untuk tidak membayar pajak dan keja paksa pada pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian dia bersama dua orang temanya akhirnya juga ditangkap dan dibuang (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:23).
Ajaran Samin juga mulai dikembangkan keberbagai daerah baru oleh para pengikutnya. Surohidin, yang merupakan menantu Samin Surontika, dan juga Engkrak, murid Samin Surontika. Pada tahun 1911 menyebarkan ajaran Samin di daerah Kabupaten Grobogan (Purwodadi). Karsiyah, pengikut Samin Surontika, mengembangkan ajaran Samin di Kajen, Pati (Suripan, 1996:15).
Pada tahun 1914 inilah kegiatan pengikut Samin mencapai puncaknya karena dipicunya adalah kenaikan pajak kepala. Penduduk Tapelan, Bojonegoro, mulai keberatan membayar sewa tanah desa yang sudah mereka sewa sejak 1912. Bahkan mereka mengklaim bahwa tanah itu milik penggarap dan mereka “tahu hak-hak mereka.” Mereka mengancam dengan cangkul dan arit ketika Asisten Wedana tiba untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Tapi akhirnya mereka dilucuti dan dipenjarakan oleh polisi tanpa ada yang terluka (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:24).
Di Grobogan, pengikut Samin mulai tidak menghormati pihak berwenang. Pada saat yang sama, Projodikromo memberitahu orang-orang di Distrik Balerejo, utara Madiun, bahwa pajak akan ditingkatkan lebih lanjut dan mengajak mereka untuk menipu petugas survai lahan. Tujuan utama mereka ialah tidak mau membayar pajak (Suripan, 1996:15).
Sedangkan di Kayen, Pati, Karsiyah yang merupakan pengikut ajaran Samin menyebut dirinya sebagai Pangeran Sendang Janur dan mendorong orang untuk menentang pemerintah. Akhirnya di desa Larangan, Kayen, para pengikutnya menolak untuk membayar pajak dan menyerang kepala desa, dan melawan polisi. Beberapa terluka tapi tidak ada yang tewas. Mereka kemudian dipenjarakan di Pati (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:24).
Pada tahun 1916 gerakan Samin melawan pemerintah kolonial mulai mencari daerah persebaran baru. Ajaran Samin mulai disebarkan di Undaan, selatan Kudus. Dalam laporan Jasper bahwa para pengikut Samin pada tahun ini adalah 2.305 kepala keluarga: 1.701 di Kabupaten Blora, 283 di Bojonegoro, dan sisanya di Pati, Rembang, Grobogan, Ngawi, dan Kudus (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:24-25).
Pada tahun 1917 para pengikut Pak Engkrak dan Karsiyah melakukan perlawanannya terhadap pemerintah Kolonial Belanda dengan apa yang dinamakan partikel pasif. Peningkatan perlawanan ini sangat menjengkelkan Belanda. Perlawanan ini akhirnya dapat dipadamkan oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan melakukan hukuman penangkapan dan pengasingan (Suripan,1996:16).
Perlawanan juga dilakukan oleh Dangir dan kepala desa Genengmulyo pada tahun 1928. Akan tetapi kemudian mereka juga ditangkap oleh pemerintah kolonial karena menolak bekerjasama dengan kontrolir dalam menaksir luas tanah dan nilai pajak yang dibebankan. Dalam wawancara oleh Patih Pati. Dangir mengaku sebagai pengikut ajaran Samin (Anis Sholeh dan Moh. Anis, 2014:25).
Setelah tahun 1928 ini sampai kemerdekaan, teryata gerakan Samin tidak terlihat lagi disurat-surat kabar maupun dokumen-dokumen milik Belanda. Hal ini menurut Suripan (1996) disebabkan karena ketiadaan pemimpin yang tangguh. Namun walaupun gerakan pemberontakan Samin ini tidak terlihat lagi, akan tetapi ajaran Samin masih diabadikan oleh para pengikutnya sampai sekarang.

Daftar Pustaka
Djoened P., Marwati dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Ismail, Nawari. 2015. Strategi Bertahan Kelompok Agama Lokal. Dalam Journal    Harmoni, Volume 14 Nomor 3.
Moh. Rasyid. 2008. Samin Kudus: Bersahaja Di Tengah Asketisme Lokal. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin AG. 2009. Gerakan Samin dan Misteri Agama Adam. Dalam Journal      Harmoni, Volume VIII Nomor 31.
Mumfangati, Titi, dkk. 2007. Kearifan Lokal Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah. Yogjakarta: Kepel Press.
Sadi H., Suripan. 1996. Tradisi Dari Blora. Semarang: Citra Almamater Semarang.
Sastroatmojo, R.P.A Suryanto. 2003. Masyarakat Samin: Siapakah Mereka?.Yogjakarta: Narasi.
Sholeh B., Anis dan Muhamamad Anis Ba’asyin. 2014. Mistisisme Petani di Tengah Pergolakan. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri.

Tuesday, December 2, 2014

Bukan 350 Tahun Dijajah, Meruntuhkan Mitos Penjajahan 350 Tahun

Bukan 350 Tahun Dijajah, Meruntuhkan Mitos Penjajahan 350 Tahun


·   Judul               : Bukan 350 Tahun Dijajah
·    Penulis            : G.J. Resink
·    Penerbit           : Komunitas Bambu
·    Tebal                : xxxiv + 366 halaman
·     Cetakan           : 2012






Historiografi Eropasentris dalam sejarah Indonesia ternyata telah melanggengkan mitos yang bertahan lama: “Belanda menjajah Indonesia 350 tahun”. Mitos yang sengaja diciptakan sebab pemerintah kolonial Belanda membutuhkan legitimasi historis politis untuk mempertahankan dan memperluas daerah jajahannya.  Mitos penjajahan ratusan tahun ini seperti hendak mengafirmasi arogansi Gubernur Jenderal BC de Jonge tahun 1936 yang berkata, “kami akan tinggal di sini 300 tahun lagi”.

Kita sama-sama tahu sesumbar itu tidak pernah terbukti. Namun celakanya, mitos yang dibuat oleh sejarawan kolonial tersebut direproduksi rezim penguasa pascakolonial yang tuna sejarah. Terutama di era Orde Baru, sejarah hanya dipahami sebagai perkara waktu dan peristiwa seperti tercantum dalam buku-buku pelajaran maupun teks pidato para pejabat. Tak perlu heran jika masyarakat memahami peristiwa sejarah sebagai teks yang beku dan tak ada relevansinya dengan kondisi kekinian.
Nah, Gertrudes Johan Resink menulis buku yang terdiri dari 14 tulisan ini sebagai ikhtiar untuk meruntuhkan mitos tersebut. Reesink adalah seorang ahli sejarah, hukum, dan sastra keturunan Belanda dan Jawa yang lahir di Yogyakarta tahun 1911. Sejak pengakuan kedaulatan Belanda terhadap Indonesia tahun 1949, Reesink memilih mempertahankan kewarganegaraan Indonesia dengan segenap konsekuensinya.

Buku Bukan 350 Tahun Dijajah menjadi sumbangan teoritis yang berharga terutama dalam bidang hukum internasional untuk memecahkan mitos dan mengembangkan historiografi indonesiasentris. Tema tulisan yang dipublikasikan di era 1950-an ini merentang dari hubungan antara “Negara Hindia Belanda” dengan “Negara-negara pribumi di Kepulauan Timur” sampai perspektif baru penulisan sejarah nasional.
Sebagai guru besar ilmu hukum, Reesink menunjukkan sederet bukti sejarah sesuai disiplin keilmuannya. Reesink mengumpulkan data dari aturan-aturan konstitusi dan arsip-arsip pengadilan di Hindia Belanda yang ia sebut sebagai “alat-alat buatan Belanda”.

Dari sebagian saja alat-alat tersebut, Reesink membuktikan bahwa pemerintah kolonial Belanda di antara tahun 1870 dan 1910 melihat adanya kerajaan di sekitar Hindia Belanda yang merdeka. Di antaranya adalah kerajaan Sumba, Sulawesi Selatan, Aceh, Langkat, Lingga, dan daerah-daerah Batak. Pengakuan atas kerajaan-kerajaan ini bersumber pada aturan yang dibuat pemerintah Belanda sendiri.
Pemerintah tertinggi di Belanda (Mahkota Kerajaan Bersama Parlemen) dalam pasal 44 Reegeeringsreg tahun 1854, memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan membuat perjanjian dengan negeri atau bangsa di Kepulauan Nusantara.  Setidaknya ada tiga jenis negeri yang dimaksud dalam peraturan tersebut.
Pertama, negeri-negeri yang sudah mengakui Belanda sebagai negeri souverein (yang berdaulat)walaupun hubungan ini bersifat internasional karena diatur traktat. Kedua, negeri-negeri yang mengadakan traktat dengan Belanda. Negeri-negeri yang disebut sebagai vasal ini setidaknya meliputi Sambas di Kalimantan, dan tujuh negeri di Sulawesi Utara. Ketiga, negeri-negeri yang mengakui Belanda sebagai leenheer tanpa mempersoalkan masalah kedaulatan. Termasuk dalam kategori ini adalah Riau di Sumatera, hampir semua negeri di Kalimantan, dan beberapa di Timor dan Sulawesi.

Dengan adanya pengakuan terhadap negeri-negeri tersebut, ungkapan penjajahan atas Indonesia selama 350 tahun patah dengan sendirinya. Seperti diungkapkan Reesink, pernyataan tersebut adalah generalisasi sejarah yang dibuat-buat. Generalisasi ini dibuat dengan cara pars pro toto. Penjajahan seluruh Jawa selama abad 19 yang dipertebal menjadi penjajahan seluruh Nusantara selama tiga abad lebih.
Reesink menilai, pengabaian terhadap fakta-fakta hukum tersebut membuat mitos penjajahan 350 tahun bertahan sangat lama. Apalagi, perspektif historiografi indonesiasentris belum menjadi arus utama. Peneliti sejarah malas mencari sumber-sumber baru dan lebih banyak mengandalkan sumber-sumber lawas. Bias eropasentris yang melanggengkan supremasi kolonial begitu terlihat dalam sumber-sumber tersebut.

Kemalasan tersebut berakibat fatal terhadap citra peta kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara yang dilukiskan dalam satu warna seragam. Padahal, masing-masing negeri di Kepulauan Nusantara memiliki relasi politik dan hukum yang berbeda-beda dengan Belanda. Relasi ini tergantung pada spheres-of-influence, kuat lemahnya pengaruh Belanda terhadap negeri tersebut. Berarti, lukisan citra peta kekuasaan Belanda semestinya menampilkan gradasi warna yang berbeda sesuai kadar pengaruh pusat pemerintahan kolonial di Batavia.  
Menurut Reesink, jika generalisasi dilakukan, Belanda sebenarnya hanya menjajah seluruh Nusantara selama 40 sampai 50 tahun. Inipun masih menghitung perbedaan waktu di masing-masing daerah. Wilayah di Jawa menjadi daerah yang paling lama dijajah. Gagasan ini memang radikal, tapi Reesink menunjukkan bukti-bukti yang cukup meyakinkan.

Seperti diungkapkan Taufik Abdullah, Reesink berhasil membongkar mitos politik penjajahan ratusan tahun. Mitos yang pada akhirnya tidak akan bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah. Persoalannya, gagasan Reesink sudah ditulis sejak tahun 1950an. Namun toh mitos ini tetap menjadi arus utama sampai sekarang. Jangan-jangan, kita memang sudah menjadi masyarakat yang tuna sejarah?

Pidato Soekarno pada 17 Agustus 1962 : Tahun Kemenangan ( A Year Of Triumph )

Tahun kemenangan Indonesia merupakan tahun dimana sistem pemerintahan Indonesia lebih stabil dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini merupakan tahun yang terbaik setelah terjadi banyak revolusi yang dimulai dari Revolusi Formil pada tanggal 17 agustus 1945. Kemudian Revolusi yang kedua pada yaitu saat pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949. Kemudian yang ketika tiga yaitu saat terjadi penyelewengan-penyelewangan pada tahun 1957 yang kemudian menimbulkan aksi untuk membendung dan menghentikan penyelewengan tersebut yang kemudian disebut dengan “tahun ketentuan” atau “a year of decision”. Kemudian yang keempat saat-saat tahun 1959 saat dimana Pemerintah tidak hanya mengatasi masalah penyelewengan tetapi juga telah kembali menemukan revolusi yang kemudian disebut dengan “tahun penemuan kembali revolusi” atau “rediscover our revolutions” dan memberi landasan yang teguh kepada Bangsa Indonesia berupa Manipol-USDEK (Manifesto Politik / UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia yang oleh Soekarno sebagai haluan dari pada Negara Republik Indonesia maka harus dijunjung tinggi, dipupuk, dan dijalankan oleh semua bangsa Indonesia). Kemudian pada tahun 1962 yaitu sebagai tahun kemenangan kelima dimana bangsa indonesia telah mencapai revolusi yang berideologi, revolusi yang berkonsepsi, revolsi yang tidak bergantung, revolusi yang berlandasan manipol-USDEK. Yang artinya tidak mungkin akan mencapai kemenangan ketika masih tetap Berliberalis, tetap bermulti-party-syastem, tetap tanpa kemudi, tetap tanpa bimbingan ide sosialisme. Tanpa adanya RESOPIM (Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional) juga bangsa Indonesia tidak akan mencapai cita-cita dalam tahun 1962 ini yang mempunyai makna bahwa bangsa Indonesia hanya bejuang, hanya bersemangat, hanya berkorban dan hanya membanting tulang saja tanpa mencapai hasil yang maksimal yang mengagumkan bagi seluruh dunia. Sebelum revolusi ber-Manipol-USDEK ini bangsa Indonesia melakukan revolusi hanya untuk mengusir kekuasaan Belanda dari Indonesia dan ketika kekuasaan Belanda terusir dari bumi Indonesia, revolusi Indonesia yang tanpa arah, satu revolusi yang bolong dan dimasuki kompromis-kompromis dan penyeleweng-penyeleweng.
       Bentuk – bentuk kemenangan yang dicapai pada tahun 1962 bermulai dari penyusunan kabinet kerja yang terang-gamblang dan  tegas-jelas dan yang benar-benar mencerminkan kebutuhan pokok Rakyat Indonesia dalam jangka pendek yaitu sandang-pangan, keamanan dan anti Imperalisme yang kemudian disebut sebagai Triporgram Pemerintah (Tri Program Kabinet Kerja meliputi masalah-masalah sandang pangan, keamanan dalam negeri, dan pengembalian Irian Barat). Selama bangsa Indonesia berjuang dengan landasan Nasional, tiga program tersebut pasti akan terwujud seperti slogan dari sang revolusioner “yang sukar kita selesaikan sekarang, yang tidak mungkin kita selesaikan besok”. Tahun kemenangnan ini tentunya perlu di konsolidasi dan distabilisasi agar benih-benih liberal dan parlementer serta anti republik dapat di Bumi hanguskan dari sistem pemerintahan Indonesia. Konsolidasi dan distabilisasi tersebut meliputi:

  1. Rehabilitasi dari Aparatur Negara yang telah rusak dan kacau sebagai akibat dari gangguan keamanan, dan usaha itu dilandaskan pada jiwa USDEK.
  2. Rehabilitasi materiil, personil, mental dan Phisik, Sosial-Ekonomi, didaerah-daerah yang bertahun-tahun telah menderita akibat gangguan keamanan.
  3. Mensukseskan Triprogram pemerintahan dan manipol pada umumnya.
       Pembebasan Irian Barat juga merupakan suatu keharusan karena persamaan satu bangsa yang mempunyai dasar jiwa yang sama, satu bangsa yang mempunya prinsip yang sama dan sebagai tahan air kita dan itu merupakan suatu kewajiban yang suci bangsa Indonesia untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda. Penyerahan Irian Barat yang diundur-undur ini membuat Soekarno naik pitam dan melancarkan politik Konfrontasi dalam segala bidang baik dalam bidang ekonomi dan juga gempuran-gempuran dalam bidang militer. Namun tidak semerta-merta Soekarno untuk langsung membumi hanguskan Belanda dari Irian Barat. Politik Konfrontasi tersebut harus disertai uluran tangan dimana palu godam yang siap menghantam namun tetap disertai jabatan tangan untuk persahabatan. Politik ini yang kemudian melahirkan Trikora:
  1. Gagalkan pembentukan "Negara Papua" bikinan Belanda kolonial
  2. Kibarkan sang merah putih di Irian Barat tanah air Indonesia
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa) yang berisi ajakan untuk memebebaskan Irian Barat dari tangan Belanda.
       Dalam politik konfrontasi ini Soekarno juga mencentuskan sebuah rencana yang dikenal dengan Rencana Bungker. Makna dari rencana tersebut adalah:

1.      Pemerintahan atas Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
2.  Sesudah sekian tahun dibawah Pemerintahan Republik, maka rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menentukan sendiri secara bebas nasibnya, tetap terus didalam Republik Indonesia? Atau memisahkan diri dari Republik Indonesia?
3.   Pelaksanaan penyerahan Pemerintahan di Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu dua tahun.
4.      Untuk menghindari bahwa kekuatan-kekuatan Indonesia langsung berhadap-hadapan dengan kekuatan Belanda, diadakan waktu-peralihan di bawah kekuasaan P.B.B. waktu-peralihan P.B.B ini akan berlaku satu tahun lamanya, diperlukan untuk memulangkan seluruh angkatan perang Belanda dan seluruh pegawai Belanda dari Irian Barat ke Nederland.
     Rencana tersebut diterima Belanda dengan rasa tak senang karena merasa dirugikan dalam perundingan tersebut. Menilik dari rasa tak senang tersebut yang kemudian membuat Soekarno mengutus para mentri untuk datang ke Washington untuk membuat sebuah deklarasi “pengertian bersama sementara antara Indonessia dan Belanda”. Deklarasi ini digunakan untuk meminimalisir adanya kesalahpahaman yang ditimbulkan dari Rencana Bungker tersebut. Isi dari pengertian bersama ini adalah :
1.    Sesudah ratifikasi oleh Indonesia, Belanda dan  PBB, maka selambat-lambatnya 1 Oktober 1962 pengusa PBB akan tiba di Irian Barat untuk mengoper pemerintahan dari tangan Belanda.
2.      Mulai saat itu, penguasa PBB akan memakai tenaga republik Indonesia(baik sipil maupun alat keamanan), bersama dengan alat-alat yang sudah ada di Irian Barat yang terdiri dari putra-putri Irian Barat dan sisi-sisa dari pegawai Belanda.
3.      Paratroop-paratroop kita tetap tinggal di Irian Barat, dibawah kekuasaan Administratif PBB
4.      Angkatan Perang Belanda mulai saat itu juga berangsur dipulangkan ke negeri Belanda. Yang belum pulang, akan di taruh dalam pengawasan PBB dan tidak boleh dipakai dalam operasi militer.
5.      Antara Irian Barat dan daerah Republik Indonesia lainnya adalah lalulintas bebas
6.      Tanggal 1 Januari 1963, atau 31 Desember 1963 bendera Sang Merah Putih secara resmi akan dikibarkan disamping bendera PBB
7.      Pemulangan Angkatan Perang Belanda dan pegawai Belanda harus selai pada tanggal 1 Mei 1963 dan sebentar sesudah itu Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengoper Pemerintahan di Irian Barat. Dari tangan PBB ke tangan Indonesia.
        Ajaran Belanda tentang liberalisme juga ditentang dengan keras oleh Soekarno karna pandangan Soekarno bahwa liberalisme hanya akan menjadi negara boneka dari Belanda. Paham tentang Republik harus dilekatkan pada sanubari Bangsa Indonesia agar ketika Belanda datang dengan Propaganda Liberalismenya bangsa ini dengan sigap mengatakan tidak. Bangsa ini harus paham dengan Republik agar benih-benih propaganda Liberalisme Belanda yang masih tinggal di Indonesia kembali tersadar dan menjadi pro-Republik serta kembali mengabdi ke Indonesia. Dengan paham yang demikian akan adanya satu harapan, bahwa kali ini pihak belanda bersungguh-sungguh secara jujur melaksanakan persetujuan yang dicapai itu karena selama berabad-abad bersengketa dengan Belanda dan hanya menimbulkan ceceran darah perjuangan. Penyelesaian sengketa ini juga harus dengan damai tidak secara Renville dan tidak secara Linggarjati agar kelak hubungan Indonesia-Belanda dapat berlangsung dengan baik.